Menjaga Integritas Akademis-Profesional, Meningkatkan Keikhlasan Spritual: Refleksi Perjalanan Pertama Bunda Rizki sebagai Reviewer Nasional

 

Rabu, 22 Mei 2025 adalah hari yang sangat berkesan dan bersejarah bagi Bunda Rizki. Hari itu menandai langkah awal Bunda menjalani tugas sebagai reviewer nasional yang diamanahkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Nomor 3366 Tahun 2025. Bunda terpilih menjadi bagian dari reviewer penelitian, publikasi ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi keagamaan Islam periode 2025–2027. Amanah ini bukanlah sesuatu yang Bunda peroleh begitu saja; ada proses seleksi dan penilaian yang ketat sehingga Bunda merasa sangat bersyukur sekaligus termotivasi untuk menjalankan tugas ini dengan penuh tanggung jawab.

Tugas pertama Bunda datang dari LPPM UIN Raden Fatah Palembang, di mana Bunda diminta untuk mereview sepuluh proposal penelitian BOPTN dalam cluster penelitian dasar pembinaan dan pengembangan. Bunda hanya diberi waktu dua hari, dari tanggal 14 sampai 16 Mei 2025, untuk menilai secara komprehensif isi proposal tersebut. Tugas ini tidak mudah. Bunda harus menelaah secara detail mulai dari pemilihan judul, penyusunan abstrak, latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan konsep, hipotesis, metode penelitian, rencana pembahasan, waktu pelaksanaan, referensi, hingga rencana anggaran biaya.

Dua hari itu Bunda harus begadang. Bunda menyadari, ini bukan sekadar soal ketelitian akademis tapi juga pengorbanan waktu dan tenaga. Namun Bunda memandangnya sebagai kesempatan untuk mengasah kemampuan dan membuktikan kualitas diri sebagai akademisi. Bagi Bunda, reputasi institusi UIN SYAHADA Padangsidimpuan yang menjadi tempat Bunda mengabdi juga ikut bertaruh dalam tugas ini. Bunda ingin memberikan yang terbaik.

Setelah menyelesaikan tugas pertama, Bunda sempat merasa lega dan tenang, namun hanya sesaat. Beberapa hari kemudian, Bunda menerima tugas berikutnya sebagai reviewer dalam seminar proposal yang jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 19 proposal. Di antara proposal tersebut, 10 sudah pernah Bunda nilai sebelumnya. Bunda hanya memiliki waktu kurang dari 24 jam untuk menilai semua proposal tersebut secara menyeluruh, termasuk melakukan penilaian saat seminar berlangsung.

Berhadapan dengan waktu yang sangat terbatas, Bunda benar-benar harus mengoptimalkan seluruh kemampuan akademis Bunda. Tantangannya bertambah karena dalam kelompok proposal itu terdapat penelitian terapan dengan anggaran hingga ratusan juta rupiah. Selain itu, Bunda menemukan bahwa beberapa pengusul proposal adalah para guru besar/ profesor. Informasi ini Bunda dapatkan dengan menelusuri rekam jejak mereka lewat Google Scholar dan berita online. Penelusuran ini penting bagi Bunda untuk mempersiapkan mental, bahasa, dan gaya komunikasi agar bisa berinteraksi secara profesional dan penuh penghormatan.

Pada hari seminar, Bunda harus bertahan kurang lebih 9 jam di ruang Zoom mulai pukul 07.50 hingga 17.14 WIB, dengan jeda istirahat hanya sekitar 45 menit yang Bunda gunakan untuk shalat dzuhur, lalu makan sedikit camilan sambil duduk di depan layar dengan kamera nonaktif. Selama waktu istirahat itu Bunda terus menelaah proposal yang belum selesai Bunda kaji.  Beberapa proposal menggunakan perspektif disiplin ilmu di luar keahlian utama Bunda; seperti hukum, ilmu Alquran, tafsir, hadis, ushuluddin dan pendidikan. Bunda berusaha menguasai setidaknya garis besar teori dan metode dari bidang-bidang tersebut agar penilaian Bunda tetap relevan dan komprehensif.

Singkat cerita, layar zoom kembali aktif pukul 13.30 review berlanjut hingga akhir sesi. Salah satu pengalaman yang sangat berkesan adalah saat Bunda berdiskusi dan berdebat dengan seorang profesor di bidang tafsir hadis. Beliau menggunakan kaidah kritik hadis untuk menganalisis undang-undang, hukum positif negara. Bunda merasa cara itu kurang tepat, sehingga Bunda mengusulkan untuk menggunakan kaidah tersebut pada kajian fatwa MUI yang lebih relevan dengan dalil hadis. Bunda juga menawarkan agar untuk menganalisis undang-undang tersebut, bisa digunakan perspektif analisis wacana kritis yang lebih cocok.

Diskusi itu cukup panjang dan menantang. Sempat Bunda memberikan analogi bahwa kajian ini ibarat "mengupas pepaya dengan gunting". Namun, Bunda sadar pentingnya menjaga sikap agar tidak terjebak dalam arogansi akademik. Bunda berusaha menahan ego, karena Bunda tahu masing-masing dari kami memiliki kepentingan mempertahankan reputasi dan argumentasi keilmuan. 

Malam harinya Bunda menelusuri referensi yang digunakan peneliti tersebut, membacanya dengan seksama hingga Bunda bisa memahami kaidah kritik hadis yang beliau maksudkan, hingga akhirnya Bunda meyakini bahwa argumentasi Bunda soal teori dan metodologi yang Bunda tawarkan memang lebih tepat dalam konteks kajian yang dibahas, yaitu undang-undang.

Keesokan harinya pada saat Bunda akan menginput nilai ke sistem, Bunda terngiang-ngiang pemaparan yang disampaikan oleh peneliti tersebut. Bunda terbayang-bayang bagaimana kukuhnya beliau mempertahankan teori itu dan menjelaskannya secara rinci. Akhirnya, Bunda putuskan untuk membaca lebih banyak referensi terkait konteks penerapan pendekatan kritik hadis sebagai pisau analisis penelitian. Setelah menelaah lebih dalam barulah Bunda paham bahwa dalam konteks penelitian yang diajukan peneliti tersebut ternyata penerapan pendekatan kritik hadis itu sangat relevan dengan fokus penelitiannya.

Bunda menyadari bahwa singkatnya waktu yang Bunda miliki untuk menelaah proposal membuat Bunda gagal memahami fokus penelitiannya di awal. Namun, setelah Bunda betul-betul memiliki waktu yang memadai ternyata Bunda menjadi paham.

Ada rasa bersalah dalam hati Bunda ketika tidak cermat membaca proposal itu. Namun,  Bunda mengambil hikmah dari kejadian itu bahwa ini adalah cara Allah untuk mendekatkan Bunda kepada sebuah disiplin ilmu yang benar-benar baru untuk bunda. Bunda sangat bersyukur karena dengan kejadian ini mata hati Bunda terbuka bahwa sebagai reviewer, banyak hal yang harus Bunda pelajari. Banyak disiplin ilmu yang harus Bunda kuasai.

Langkah berikutnya adalah, Bunda harus meminta maaf secara tulus kepada peneliti tersebut. Ini adalah wujud tanggung jawab dan kerendahan hati Bunda sebagai akademisi. Sudah sepatutnya Bunda menunjukkan kebesaran jiwa untuk mengakui kekeliruan yang tanpa sadar sudah Bunda lakukan.

Pengalaman ini mengajarkan Bunda akan pentingnya ketulusan, keseriusan, kecermatan, kesabaran, dan kebesaran jiwa dalam menjalankan tugas reviewer, yang tidak hanya menuntut ketajaman intelektual tapi juga kebijaksanaan dan keikhlasan spiritual. Seluruh pengalaman ini membuka mata Bunda bahwa menjadi reviewer bukan sekadar profesi, melainkan juga pengabdian yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan nilai spiritual. Bunda belajar bahwa integritas akademis harus senantiasa dijaga dengan landasan keikhlasan dan niat tulus. Tugas ini adalah ladang pengujian bagi dedikasi, kesabaran, dan ketulusan dalam menjalankan amanah.

Bunda sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan ini, karena melalui perjalanan ini Bunda tidak hanya berkembang secara intelektual, tapi juga secara spiritual dan personal. Bunda semakin yakin bahwa menjadi akademisi adalah panggilan hidup yang memerlukan komitmen penuh, tidak hanya terhadap ilmu, tapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan religius.

Semoga perjalanan ini senantiasa menjadi motivasi bagi Bunda untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan memberikan kontribusi yang berarti bagi dunia akademis, khususnya pendidikan tinggi keagamaan Islam. Bunda ingin menjalankan tugas ini dengan sepenuh hati, menjaga nama baik institusi dan integritas ilmiah, sekaligus menguatkan spirit pengabdian yang tulus dan ikhlas.


Post a Comment

0 Comments