Kompas Nurani: Merawat Kejujuran untuk Harmoni dan Ketenangan Hati

Sebagai seorang insan yang berdiri di dua ruang kerja formal, yakni istri pimpinan dan juga akademisi yang menjalankan peran di lembaga pendidikan, saya belajar bahwa hidup adalah proses memahami peran dan sekaligus tantangan untuk meneguhkan jati  diri di tengah-tengah dinamika jabatan.  Pada dua kondisi itu, setiap pertemuan dan rapat adalah ruang di mana komitmen diuji, kolaborasi dibangun, dan dinamika pemikiran dipahami dengan sabar. Di sinilah kebijaksanaan nurani sangat dibutuhkan. Saya harus bijak memaknai, mendefinisikan dan menjalani peran, harus piawai menyikapi keadaan, dan harus tegas dalam membuat keputusan. 

Kemarin, saya mengikuti  rapat kerja pimpinan dalam kapasitas saya sebagai istri pimpinan, ketua dharma wanita persatuan. Seperti biasanya, saya adalah tipe peserta yang disiplin mengikuti rangkaian agenda kegiatan, dan setelahnya selalu ingin cepat pulang ke rumah setelah menyelesaikan urusan pekerjaan dan kedinasan. 

Setelah acara penutupan, suami saya berangkat duluan untuk melanjutkan tugas berikutnya dalam kapasitasnya sebagai pimpinan, saya tetap tinggal sementara untuk menyelesaikan tugas mengajar secara online. Selesai mengisi perkuliahan, saya  segera berangkat pulang. Tiga orang peserta perempuan sudah meminta izin untuk ikut pulang bersama saya, sementara peserta lainnya memilih untuk pulang pada esok harinya.

Kebersamaan dalam perjalanan panjang yang kami tempuh hampir 10 jam menjadi ruang percakapan yang terbuka, penuh tawa, dan reflektif. Sesekali hadir pembahasan tentang orang lain yang mungkin masuk kategori ghibah, namun saya berharap ini lebih pada cermin untuk belajar waspada dan bijak dalam memilah dan memilih rekan bicara dan bercerita.

Dalam "ayunan" mobil yang melintasi jalan berliku, banyak hal yang kami perbincangkan, dari hal yang serius,  cerita-cerita lucu yang membuat tawa kami tak putus-putus, hingga petuah-petuah kehidupan yang saya sisipkan dengan halus. Mereka juga menyoroti cara saya berkomunikasi. Bukan sebagai kritik, tetapi sebagai perbandingan yang reflektif. Mereka membandingkan gaya komunikasi saya dengan suami saya. Menurut pengakuan mereka, mereka sangat nyaman dengan gaya komunikasi suami saya selaku pimpinan.  

Bagi mereka,  beliau adalah sosok pemimpin yang ideal, mengayomi, dan tenang, bahkan di saat emosinya menggelora di dalam dada, senyumnya tak pernah luruh, canda tawanya tetap membahana, tak pernah menunjukkan amarah sekalipun ada yang mengusik jiwanya. Sebaliknya, menurut mereka saya adalah tipe orang yang suasana hatinya mudah terbaca. Ya, itu benar, karena saya adalah insan yang anti-drama.  Jika sedang terharu air mata saya adalah pengungkap rasa di kalbu. Jika merasa tak nyaman, ekspresi saya adalah cermin yang transparan. Jika tak setuju, raut wajah saya adalah pemberitahu yang jujur. Dan jika tak suka sikap dan tindakan saya adalah pertanda penolakan.

Bagi saya, kejujuran adalah bahasa cinta yang paling tulus. Saya percaya bahwa dengan menunjukkan ketidaksukaan secara terbuka, orang lain bisa belajar bahwa ada yang salah dalam sikap atau perkataan sehingga dibutuhkan rasa penyesalan dan upaya mencapai pemaafan, serta ada luka yang perlu diobati dan disembuhkan. Saya meyakini bahwa harmoni hanya bisa lahir dari kejujuran, bukan dari topeng kesempurnaan. Saya bisa memastikan bahwa saya tak punya kepentingan lain selain menciptakan komunikasi yang humanis dan beretika, tanpa agenda tersembunyi.

Memang, sebagai pemimpin, seringkali kita dituntut untuk menjadi pelindung, pengayom, bijaksana dan tenang seolah-olah tanpa gejolak jiwa, meskipun itu kadang terasa manipulatif. Saya memilih untuk tidak berada di jalur itu. Saya lebih memilih terlihat "sarkas" dalam kejujuran, daripada lembut dalam kepura-puraan. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan drama. Saya ingin menjadi diri sendiri, tidak mencari validasi, tidak berusaha disukai semua orang, tetapi teguh pada prinsip: jujur, terbuka, dan menjunjung moralitas.

Masing-masing kita punya gaya komunikasi yang unik. Tidak perlu dipertentangkan, tidak perlu digeneralisir. Yang penting adalah kita tetap setia pada nilai-nilai yang kita junjung. Saya tidak pernah bermaksud menyakiti, tetapi saya juga tidak akan diam ketika ketidakadilan terjadi. Saya menghargai mereka yang berani menyuarakan kebenaran, meski konsekuensinya adalah cercaan atau kebencian. Sebab, kebenaran harus ditegakkan, meski akibatnya kita dikucilkan.

Di balik semua ini, ada keyakinan yang menguatkan saya: Allah Maha Melihat. Kita mungkin bisa membohongi orang lain, tetapi tidak bisa membohongi hati nurani sendiri. Ketidaktenangan adalah harga yang harus dibayar bagi mereka yang memilih manipulasi. Saya memilih hidup tanpa topeng kemunafikan, karena hanya dengan kejujuran, kita bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya.

Saya tak ingin berpura-pura ramah saat hati menjerit kecewa. Saya tak ingin tersenyum saat kebenaran dilukai. Sebab, di balik senyum yang dipaksakan, ada hati yang menangis. Dan saya memilih untuk tidak mengkhianati hati sendiri.


Petuah Bunda Rizki 

Mari kita jadikan komunikasi sebagai ruang suci, di mana kejujuran dan ketulusan menjadi kompas, di mana kata-kata tidak hanya indah, tetapi juga bermakna. Jangan takut untuk menjadi diri sendiri, asalkan diiringi dengan niat baik dan integritas. Sebab, pada akhirnya, yang abadi bukanlah penilaian manusia, tetapi ketulusan hati yang diakui oleh Yang Maha Kuasa.

Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dengan manipulasi. Mari berani jujur kepada diri sendiri, dan kepada orang lain. Hanya dengan kejujuran, kita bisa membangun hubungan yang tulus, langgeng, dan penuh makna.


Padangsidimpuan, 16 November 2025

Jelang rehat malam

JWS. Rizki 

Post a Comment

0 Comments