BUNDA PUN RINDU, SEMOGA CORONA SEGERA BERLALU






“Assalamualaikum warohmatulloh wabarokatuh. Selamat siang
semuanya…”, seperti biasanya, Bunda Rizki menyapa para mahasiswa di kelas
virtual. Sudah memasuki minggu keempat sejak diberlakukan kebijakan kerja dari
rumah atau kerja di rumah bagi para dosen dan pegawai IAIN Padangsidimpuan,
bunda tidak lagi bertemu langsung dengan mereka. Namun demikian, perkuliahan
tetap berlangsung sesuai jadwal biasanya.


Hampir tidak ada kendala yang berarti selama tiga minggu
proses perkuliahan virtual berlangsung. Kehadiran anggota kelas hampir 100% dalam
setiap pertemuan, jadwal presentasi makalah tidak terganggu, demikian juga
tugas-tugas kuliah. Semua terlaksana. Hanya saja, dalam hal ini bunda harus
lebih banyak maklum, lebih toleran, dan lebih sabar juga.


Biasanya, di kelas tradisional (hehehe, bunda harus mikir
agak lama sambil googling untuk
mencari istilah yang paling pas untuk lawan kata kelas virtual. Semoga ini pilihan yang pas) bunda hanya memberikan toleransi waktu 10 menit bagi yang terlambat
masuk kelas. Keputusan ini berdasarkan kesepakatan bersama dengan seluruh
anggota kelas. Dan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. (Ya iyalah, kan
udah belasan tahun bunda jadi dosen.) Jadi, jika ada yang terlambat melebihi
batas toleransi waktu tersebut, tidak akan bunda izinkan masuk kelas.


Biasanya dengan mata pura-pura melotot (nih asli pura-pura
aja, karena sejujurnya bola mata bulat bunda ini gak tahan melotot lama-lama. Hehehe), suara tegas (ini juga
terpaksa, karena aslinya bunda lebih suka pakai suara lembut. Eeeak), bunda akan menghalau mahasiswa yang
terlambat dengan kata-kata pamungkas mirip semburan lumpur Lapindo seperti ini: “Sorry.
You are coming late. So, close the door, and get out from this classroom.

atau yang  versi lembut tapi bikin kembut (ini istilah anak Medan banget, Coy…artinya darah berdesir, lutut
gemetar alias deg-degan bin takut hue hue
hue)
: “Maaf ya, kami mau belajar. Tolong jangan diganggu.”, atau yang paling
simpelnya nih, pakai bahasa kalbu: Mengetukkan jari telunjuk ke pergelangan
tangan sambil menggelengkan kepala, lalu mengayunkannya ke arah luar kelas. Semua
itu manjur. Kalaupun masih ada yang berusaha menghiba dengan wajah memelas,
bunda akan lebih tegas mengayunkan jari ke arah luar. Artinya, bagi yang terlambat tidak ada
negosiasi, tidak ada toleransi, dan tidak ada peluang duduk di kursi. Hihihi


Tapi, ada tapinya juga nih, kalau seandainya bunda sudah
dikabari terlebih dahulu, baik melalui wa
atau sms sebelum tiba jam kuliah
dimulai, bunda akan mengizinkan yang terlambat masuk kelas. Ini juga hasil
kesepakatan. Dengan alasan yang logis tentunya.


“Kok ribet amat sih, Bund?” mungkin ada pembaca yang
berkomentar begitu. Oh, nggak donks.
Ini maksudnya baik, insyaa Allah.
Biar disiplin dan gak asal nyelonong masuk ruangan.


Untuk izin keluar ruangan selama perkuliahan berlangsung
juga tidak ada. Kalau sudah masuk, ya duduk manis saja di bangku masing-masing.
Yang kebelet apapun mesti ditahan. Kalau tidak sanggup, boleh keluar, dengan catatan,
tidak boleh masuk lagi sesudahnya. Bunda selalu bilang, “Kalau di kelasnya
Bunda Rizki, ibaratnya kalian sedang naik angkot, kalau sudah naik, nggak boleh
turun, terus naik lagi. Kalau naik lagi, itu bayar ongkosnya jadi dua kali.
Nah, berhubung di kelas ini tidak pakai pembayaran, jadi tolong jangan
keluar-masuk. Itu akan merusak konsentrasi dan mengganggu suasana”.  Jadi, kalau ada yang berpotensi mengidap
beser, ya tinggal pakai popok penahan ***** saja. Lagipula, masa iya tidak bisa
menahan desakan arus bawah selama 50 menit x 2 saja.


Tapi, ini tapi yang kedua nih. Ada seorang peserta kelas
bunda yang dapat pengecualian dan izin khusus. Bunda tidak menyebut namanya di
sini, karena akan melanggar hak privasi. Kan, sudah belajar etika jurnalistik. Ekekekek. Berhubung nih anak memang “susah
dibendung”, jadi setiap perkuliahan dapat tempat duduk khusus. Bunda sebut “bangku
tempel” (mengadopsi istilah bus antar lintas). Posisinya persis di sebelah
pintu. Paling ujung. Secara fisik, model dan ukuran bangkunya sama saja dengan
bangku-bangku lainnya. Hanya posisinya saja paling dekat ke pintu, supaya kalau
yang bersangkutan keluar-masuk, tidak terlalu berpengaruh pada pandangan yang
lainnya. Dan yang paling terganggu sebenarnya adalah bunda. Kalau bunda sedang
serius berbicara di kelas, lalu tiba-tiba ada yang menjeda, konsentrasinya jadi
buyar ke mana-mana. Lupa, barusan ngomong apa atau sedang membahas apa.
Pastinya, itu hal sangat menyebalkan bagi bunda.


Nah, di kelas virtual ini, semua itu tidak berlaku lagi.
Mahasiswa terlambat karena jaringan bermasalah, ya dimaklumi. Mahasiswa keluar
masuk, ya sulit terdeteksi, atau mahasiswa minta tambahan waktu untuk
mengunggah tugas juga diapresiasi.


Setelah tiga minggu begini, bunda ingin menawarkan kepada
para mahasiswa untuk menggunakan aplikasi kelas virtual yang lebih interaktif
lagi. Menurut bunda, kelas virtual yang disarankan dan biasa kami pakai selama ini kurang optimal. Tapi, jawaban para mahasiswa sungguh memprihatinkan.


“Bunda, di kampung kami susah jaringan”


“Bunda, di kampung kami sering mati lampu, di dalam rumah
nggak dapat jaringan, harus ke luar rumah”


“Bunda, di kampung kami nggak ada jaringan, harus ke kampung
sebelah, sekarang lagi lockdown, gak
boleh ke luar rumah.”


“Bunda, jadi nambah pengeluaran. Kasihan orang tua."


"Bunda, Biaya paket jadi bertambah
berkali-kali lipat.”


"Bunda, di kampung kami cuma bisa pakai **, jadi harus ganti kartu. Mahal, Bund"


"Bunda, hape android kami cuma satu. Harus gantian sama adik. Adik juga kuliah, Bun"


 


… Dan berbagai jawaban lainnya yang senada namun beda versi.





Ada juga jawaban yang hampir bikin “keluar tanduk Bunda
Rizki” (istilah yang biasa bunda gunakan untuk mengalihkan marah)


“Bunda, marah mamak di rumah, karena nggak dibantuin kerja.
Pegang hp aja kerjamu, kata mamak.” Bunda hanya bisa menepuk jidat, lalu
berkomentar “Ya, iyalah nak, salahlah nggak bantuin mamak.” Yang begini memang tak
perlu dikomentari panjang lebar. Cukup dimaklumi saja.





Jawaban yang bikin bunda kekeh, ada juga.


“Bunda, maunya pakai suara juga menjelaskannya, jangan hanya
teks saja. Supaya bisa dibayangkan penjelasannya. Kalau hanya teks saja, nggak
paham bunda. Hampir semua dosen begitu. Jadi nggak efektif kuliah online. Maunya adalah suaranya, bunda.”


“Hm. Bilang aja rindu sama suara dosennya. Ya, iyalah nak. Bunda jelaskan di kelas saja belum tentu
paham, apalagi diminta membaca sendiri. Tapi intinya bukan itu, kalian rindu
suasana kelas yang nyata.” Itu jawab bunda.  Iya, kan? Ayo dong jujur!


Jangankan mahasiswa, bunda juga rindu suasana kelas kita.
Rindu menyaksikan ekspresi wajah para mahasiswa yang campur aduk ketika bunda menyisipkan pengalaman dan petuah di sela-sela materi perkuliahan. Rindu
menyaksikan keceriaan ketika bunda mencairkan suasana saat kondisi mulai tidak kondusif. Rindu menggoda mahasiswa yang tak kuasa melawan kantuk. Rindu mendengar suara-suara canda memelas untuk diajak serta berswafoto
setiap usai pertemuan kuliah. (Itu bukan semata-mata wujud kenarsisan bunda nak. Itu sebagai bahan lampiran e-LKP yang wajib bunda unggah sebagai bukti fisik pelaksanaan tugas mengajar.  Dosen zaman now, gitu loh). Dan banyak lagi hal yang bunda rindukan di setiap pertemuan kelas.Seharusnya, semua kerinduan itu tetap bisa terbayar di kelas
virtual. Toh, ada banyak aplikasi yang bisa menopang itu. Tapi sayangnya, kenyataan tentang
keterbatasan perangkat, jaringan, dan biaya, yang umumnya dialami mahasiswa tidak bisa bunda nafikan begitu saja. Kondisi
tempat tinggal dan keuangan mahasiswa berbeda-beda. Untuk saat ini, optimalkan saja apa
yang yang ada. Sembari berdoa, semoga wabah corona segera reda dan semua akan segera pulih kembali seperti
semula.

Post a Comment

0 Comments