Meneguhkan Konsep Diri Mar'atun Shalihah

 

Meneguhkan Konsep
Diri Mar'atun Shalihah



Oleh: Bunda JWS. Rizki[1]



سْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِبِ



Sebelum saya memaparkan materi
pengajian hari ini, maka saya ingin membuat kesepakatan dulu dengan jama'ah
sekalian bahwa kita sepakat untuk mengambil pelajaran (hikmah) dari mana saja
dan dari siapa saja, sebagaimana pepatah arab (mahfudhat) yang
masyhur:



 



Khudzil hikmah min ayyi ainin kharajat, wala yadurruka walau kana min
famil kalb
(Ambillah hikmah/ kebaikan/ kearifan
darimanapun asalnya, dan tidak ada kerugian bagimu, walau hal itu keluar dari
mulut seekor anjing.



 



Hal ini perlu saya tegaskan, karena
boleh jadi dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan sesuatu yang mengandung
hikmah, yang mana sumbernya bukan dari  seorang
muslim, bukan ulama, bukan cendikia, bukan dari kitab, dan sebaliknya berasal
dari seorang ilmuan non-muslim, kalangan artis, atau dari lagu atau syair yang
tujuan utamanya sebagai hiburan, lalu Ketika itu mengandung kebaikan, kita
jadikan sebagai pelajaran.



Apa yang saya upayakan ini juga sejalan
dengan hadis Rasulullah dalam riwayat Imam Tirmidzi
dan Imam Ibn Majah:



الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ
الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا



Artinya: Kalimat hikmah adalah barang berharga kaum mukmin yang hilang.
Di mana saja ia menemukannya, ia lebih berhak terhadapnya.



 



Berdasarkan penelusuran saya dari
berbagai sumber bacaan, derajat hadis ini banyak dipertentangkan ulama, baik
dari segi matannya, maupun rawinya. Namun, dalam hal ini saya berikhtiar mudah-mudahan
makna dari ungkapannya tetap ada nilai manfaatnya.



Terkait dengan materi pengajian kita
hari ini yang berjudul: Meneguhkan Konsep Diri Mar'atun Shalihah, yang akan
kita kaji dengan perspektif ilmu komunikasi, sesuai dengan bidang ilmu yang
saya geluti dalam tugas formal-akademik saya, tentu ilmu komunikasi yang
notabene lahir dan berkembang di dunia barat-non muslim harus saya integrasikan
dengan perspektif keilmuan Islam yang tentunya sumber utamanya adalah Alqur’an
dan Hadist.



Ada beberapa poin yang perlu kita
pahami dalam kesempatan ini, yaitu: Apa pengertian konsep diri? Lalu, bagaimana
terbentuknya konsep diri atau darimana konsep diri berasal? Selanjutnya, bagaimana
wujud abstrak konsep diri? Berikutnya, bagaimana memaknai “mar’atun shalihah
sebagai konsep diri? Dan yang terakhir, sebagai inti dari pembahasan kita
adalah, bagaimana meneguhkan konsep diri “mar’atun shalihah”?



Baik, mari kita bahas satu-persatu. Konsep
diri
adalah pandangan, penilaian atau perasaan terhadap diri pribadi.
Kita harus mengenali diri kita dengan baik. Seorang ulama sufi terkenal bernama
Yahya bin Muadz Ar-Razi menasehatkan:



 



مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ
رَبَّه



Artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal
Tuhannya.



 



         Mengenal Tuhan tidak kalah
pentingnya dari mengenal diri. Tuhan memiliki sifat sesuai nama-nama agung-Nya
yang kita kenal sebagai asmaul husna. Sifat-sifat itu ada pada diri hambanya
sebagai potensi yang dianugerahkan Allah bagi siapa saja hamba-Nya yang mau
mengoptimalkannya.



Konsep diri terbentuk melalui pengalaman interaksi dengan orang lain. Sejak kita mengenal
interaksi dengan manusia, sejak itulah kita mulai belajar membentuk konsep
diri. Jadi, prosesnya berlangsung sejak dini. Bagaimana orang lain merespon dan
memperlakukan diri kita sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri
kita. Dalam pandangan psikologi Barat, tanggapan dan perlakuan orang lain
terhadap diri kita diibaratkan sebagai cermin untuk mengenali diri kita yang
oleh seorang Sosiolog Amerika bernama Charles Horton Cooley (1902) dirumuskan
dalam sebagai The Looking Glass Self Theory. Inti teori ini adalah bahwa
interaksi kita dengan orang lain atau masyarakat memberikan gambaran bagi kita
tentang siapa diri kita



Kita sangat mungkin memiliki dua macam konsep
diri, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri negatif
misalnya: Saya ini lemah, lamban, miskin, pemalu dan lain sebagainya, yang
semuanya mengarahkan pada sikap dan perilaku rendah diri. Adapun konsep diri
positif
, misalnya: Saya ini cerdas, ramah, supel, baik, solehah, dan sebagainya,
yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku percaya diri untuk berkontribusi
dan melakukan hal-hal baik serta bermanfaat.



Mengacu pada pemikiran tersebut, kita
perlu memperhatikan lingkungan pergaulan kita agar terhindar dari perlakuan
buruk dan juga dari “racun dan virus” pergaulan negatif, yang dalam bahasa anak
zaman sekarang disebut toxic. Lalu kita juga perlu melakukan introspeksi
diri (muhasabah) agar kita senantiasa sadar diri dan mawas diri.



Konsep diri bisa berubah seiring waktu
dan seiring kualitas interaksi kita. Bila kita tidak ingin memiliki konsep diri
negatif, maka kita perlu bersikap selektif, baik dalam hal memilih pergaulan,
maupun dalam hal menyaring tanggapan. Dalam pandangan saya:



 



Orang lain bisa saja keliru menilai diri kita, namun kita tidak boleh
salah dalam menegaskan memperlakukan diri kita (#petuahbundarizki)



 



Mari kita tegaskan
kepada diri kita: Saya adalah mar’atun shalihah. Sebagaimana, telah
dijelaskan oleh ustazah kita dalam pertemuan sebelumnya tentang pengertian mar’atun
shalihah beserta kriterianya, yaitu terkait sifatnya, sebagaimana sifat rasul,
akidahnya adalah akidah tauhid sehingga akhlaknya senantiasa terjaga, maka
hendaklah kita memenuhi segenap kriteria itu.



Dalam hadis yang
diriwayatkan Imam Muslim Rasulullah
ﷺ bersabda:



 



 اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ
الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
.



Artinya: “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.



 



Maka mari kita pastikan bahwa diri kita
adalah sebaik-baik perhiasan dunia.  Bagaimana kita memastikannya? Pastikan bahwa
kita senantiasa menjadi pribadi yang menyenangkan, baik dalam hal penampilan,
perkataan maupun perbuatan. Pastikan bahwa apapun yang kita lakukan senantiasa
bermanfaat dan membawa kemaslahatan.



Dengan senantiasa berupaya
meningkatkan kapasitas dan kualitas diri serta meningkatkan kuantitas dan
kualitas ibadah kita, berarti kita telah meneguhkan konsep diri sebagai mar’atun
shalihah.



 



 













[1] Disampaikan
pada Pengajian Mar'atun Shalihah, Rabu 15 Maret 2023





Post a Comment

0 Comments