Berhenti Mengumbar Emosi, Komunikasi Tak Bisa Ditarik Kembali

 "Kewibawaan tidak lahir dari arogansi dan intonasi suara yang meledak penuh emosi, melainkan dari kesantunan dalam berdiksi dibarengi dengan logika yang dibangun atas dasar kompetensi" (JWS. Rizki)


Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi yang membuat suasana hati menjadi tidak nyaman, dan menyulut emosi negatif berwujud kemarahan. Kita mungkin terpancing untuk menunjukkan kekuatan argumentasi pikiran atau mungkin otoritas kekuasaan/ kedudukan.

Bagi orang yang tidak mampu mengontrol emosi mungkin akan menghadapi situasi ini dengan perasaan tidak nyaman dan suasana batin yang berkecamuk penuh ketegangan. Ia lalu meluapkannya dengan bahasa verbal dan non verbal sebagai pelampiasan. 

Ini adalah emosi spontan yang sangat mungkin mereda dalam beberapa saat. Namun perlu diingat,  bahwa bila ini sudah terlanjur kita luapkan, kita tidak akan bisa mengubah persepsi orang lain bahwa kita adalah sosok yang reaktif-ekspresif dan mudah tersulut emosi. Bahkan sangat mungkin kita dicap arogan. 

Sekalipun kita berusaha menetralisir keadaan, bahkan mungkin meminta maaf atas perilaku kita yang menimbulkan ketidaknyamanan,  ini tidak akan menghapus kenyataan bahwa kita sudah melakukan kesalahan dalam interaksi sosial. Ini sebuah kesalahan berkomunikasi yang tidak bisa dihapuskan.

Samovar dkk (2017)* mengemukakan salah satu prinsip komunikasi bahwa,  "communication is irreversible". Komunikasi tidak bisa diubah. Apa yang sudah kita ucapkan atau ungkapkan, tidak dapat ditarik kembali, tidak bisa kita harapkan terhapuskan atau dilupakan seketika.

Oleh sebab itu, sekesal apapun kita menghadapi sebuah kondisi, tetap harus berpikir jernih. Penting untuk menahan diri. Tak perlu mengumbar emosi. Tak perlu ngotot beradu argumentasi. Dan tak perlu juga khawatir kehilangan kesempatan membela diri. 

Memilih diam atau jeda sesaat sambil memikirkan solusi akan memberikan kita peluang untuk menata suasana hati.  Hati yang tenang akan lebih memungkinkan kita berbicara dan bertindak dengan nurani, lebih manusiawi dan penuh empati. Kata-kata kita akan lebih terkontrol sehingga terhindar dari ucapan yang bisa menyakiti hati. Tindak tutur kita pun akan lebih santun dan beradab, terbebas dari arogansi. 

Bila suasana hati sudah tenang, maka saat berbicara, intonasi suara akan seimbang. Kita pun akan mampu berargumentasj dengan logika yang berimbang.  Orang yang mendengarkan pun akan senang. 

Bila orang lain senang mendengarkan apa yang kita sampaikan, maka kita berpeluang untuk memengaruhi pikiran, pandangan dan bahkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaan yang kita harapkan. Untuk itu kita harus senantiasa memastikan apapun yang kita sampaikan, baik melalui ucapan,  maupun perbuatan layak dipertimbangkan. Dengan demikian, kita akan menjadi sosok yang terpandang, memiliki kewibawaan dan  diharapkan. Bukan sosok yang ditakuti dan dihindari.


Catatan:

*Larry A. Samovar, et.al. 2017. Communication Between Cultures. Nineth Edition. Cengage Learning. Australia,  Brazil,  Singapore,  Mexico, UK, US.





Post a Comment

0 Comments