Telah kusaksikan hari ini, bagaimana roda zaman berputar perlahan. Seiring geraknya, ia mampu mengubah peran dan kedudukan seseorang di panggung kehidupan.
Di sebuah ruang di mana ilmu bersemayam, duduklah seorang empu yang pada masanya pernah berjaya sebagai penggawa di lembaga pendidikan. Seorang yang disegani dan dimuliakan. Bahkan kata-katanya dijadikan sebagai rujukan dan referensi dalam kajian dan ilmu pengetahuan.
Namun hari ini, kata-katanya bagai dedaunan kering yang jatuh di tengah hutan, masih mengandung kisah, tapi sepi dari gema.
Para pendengar muda, generasi yang lahir dari rahim digital, memberikan respons yang hambar. Bukan karena mereka tak menghormati, tapi mungkin karena frekuensi jiwa mereka sudah bergeser. Sesekali mereka bertepuk tangan, sekadar menunjukkan kesopanan dalam merespon nostalgia masa lalu yang diagungkan, bukan sebagai bentuk kekaguman akan sebuah pencapaian. Lalu terlintas dalam benakku: inilah makna pribahasa yang sangat masyhur: "setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya."
Kita semua hanyalah pelakon dalam pentas zaman. Suatu ketika, kita mungkin menjadi sang primadona yang disoroti gemerlap lampu kamera, pun tersohor di media massa. Tapi masa itu akan berlalu, dan panggung akan diterangi oleh bintang-bintang baru. Kita pun mungkin akan menjadi sebatas serpihan masa lalu. Namun, apakah itu berarti kita harus pasrah tergilas roda waktu?
Tidak. Di sinilah seni hidup yang sesungguhnya.
Kita memang tak bisa menghentikan sang waktu, tapi kita bisa berlayar mengarunginya. Dengan akal pikiran, anugerah Illahi yang sangat bernilai, kita bisa merenda harapan yang membuat kita tetap relevan di setiap zaman. Bukan dengan berusaha menjadi yang terhebat, melainkan dengan menjadi yang paling mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Lihatlah pohon meranti yang tegak menjulang tinggi. Ia tak mencoba menjadi bambu yang lentur, tapi akarnya menghujam dalam, membuatnya bertahan meski badai menerpa. Begitulah kita. Bukan tentang seberapa tinggi kita tumbuh, tapi seberapa dalam kita berakar pada nilai-nilai, sementara dahan-dahan pikiran kita terus menjangkau langit zaman yang baru.
Mari terus belajar seperti sungai yang mengalir, menerima setiap curahan hujan pengetahuan, beradaptasi dengan lekuk-lekuk zaman, tanpa pernah berhenti mengalir menuju lautan hikmah. Teknologi mungkin berubah, selera mungkin berganti, tapi hakikat manusia, kerinduan akan makna, kebijaksanaan, dan keautentikan, akan tetap abadi.
Jangan biarkan diri kita menjadi fosil yang teronggok di museum kenangan. Tetaplah menjadi air yang jernih, yang mampu mengisi setiap wadah generasi tanpa kehilangan kemurnian dan esensinya.
Pada akhirnya, yang kita wariskan bukanlah jabatan atau popularitas, tapi pengaruh pikiran yang terus menyala seperti lentera abadi, menerangi gelapnya ketidaktahuan, menghangatkan dinginya keterasingan, dan menuntun anak-cucu kita melintasi labirin zaman.
Kita mungkin bukan lagi bintang paling terang, tapi kita bisa menjadi gravitasi yang tak terlihat, tak nampak mata, tapi menentukan orbit peradaban.
Pengingat, terutama bagi diri sendiri:
Kita adalah pelaku sekaligus penonton dalam sandiwara zaman. Suatu masa, panggung kehidupan menyoroti kita dengan cahaya terang. Lalu, perlahan namun pasti, sorot itu bergeser. Inilah hukum alam yang tak terbantahkan. Setiap orang punya masanya, setiap masa punya orangnya.
Namun, ada rahasia abadi yang tak semua orang pahami: keabadian bukanlah tentang bertahan dalam satu bentuk, melainkan tentang kemampuan untuk berevolusi tanpa kehilangan esensi. Seperti sungai yang mengalir, bentuknya berubah mengikuti medan, tetapi hakikatnya sebagai air tetaplah sama, yakni sebagai sumber kehidupan.
Perubahan adalah keniscayaan, maka yang paling kita butuhkan adalah kebijaksanaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Kita harus memahami bahwa perubahan bukanlah musuh, melainkan sahabat yang membawa pelajaran baru. Insan yang rendah hati untuk terus belajar, cukup lentur untuk menyesuaikan diri, namun cukup kokoh untuk tak kehilangan prinsip.
Di ujung perjalanan, yang tersisa bukanlah jabatan atau ketenaran, melainkan kebijaksanaan yang kita sebarkan dan pengaruh baik yang kita tinggalkan. Itulah warisan sejati, warisan yang melampaui zaman, menyentuh setiap generasi dengan bahasanya sendiri.
Maka, marilah kita menjadi seperti pohon meranti, akar menghujam dalam pada nilai-nilai luhur, batang bernilai tinggi dan memiliki banyak manfaat, dahan-dahan merentang menjangkau langit masa depan, memberi kesejukan bagi siapa saja yang berteduh di bawahnya, kapan pun, di zaman mana pun.
Padangsidimpuan, 25 Oktober 2025
Refleksi jelang rehat malam
JWS. Rizki
1 Comments
terimakasih atas tulisan nya bun!,artikelnya sangat menarik dan membangunkan semangat saya untuk terus berevolusi di zaman yg terus berganti.
ReplyDelete